Achilles dan Patroclus Dalam Novel “Nyanyian Achilles” Karya Madeline Miller
Aku akan membahas tentang novel The Song of Achilles karya Madeline Miller yang telah selesai aku baca beberapa waktu lalu. Ulasan ini sepenuhnya adalah opiniku yang sama sekali bukan ahli dalam bidang sastra. Jadi aku akan membagi pengalaman membacaku dan bagian-bagian yang paling menarik buatku dari novel ini.
Novel ini merupakan kisah perjalanan Achilles dan Patroclus sejak mereka kecil, tumbuh bersama, mendewasa, menjalin hubungan yang indah, perjuangan mereka dalam Perang Troya, hingga kisah kematian mereka. Secara garis besar novel ini menarik dan penuturan ceritanya indah. Aku membaca versi bahasa Indonesianya dengan judul “Nyanyian Achilles” terbitan Gramedia Pustaka Utama. Terjemahannya mudah dimengerti dan terasa ringan dibaca. Novel ini merujuk pada Illiad karya Homer. Jadi, secara garis besar penuturan kisahnya memang ditulis berdasarkan apa yang telah ada di Illiad. Tapi tentu ditambah imajinasi dan representasi tersendiri dari penulis yang membuat novel ini terasa seperti memberikan versi yang berbeda.
Achilles merupakan anak dari seorang raja yaitu Peleus dan nymph laut, Thetis. Kisah ini sudah begitu masyhur di kalangan pencinta mitologi Yunani dan telah diceritakan ke berbagai macam versi. Pada umumnya, mereka menceritakan tentang kehebatan Achilles sang manusia setengah dewa yang mempunyai kelemahan pada tumitnya. Sebab konon Thetis pernah mencelupkannya ke sungai Styx untuk membuatnya menjadi abadi seperti dewa. Namun novel ini berbeda, Miller menceritakan kisah hidup Achilles menggunakan kaca mata Patroclus, pendamping setia Achilles. Miller mengangkat banyak poin penting yang lebih mendetil terkait kehidupan dan kepribadian Achilles yang tidak umum diceritakan di tulisan-tulisan lain. Menurutku, Miller memberi ruh manusia lebih banyak kepada Achilles di novel ini dibandingkan kisah keagungan Achilles yang lain, yang betul-betul menggambarkan bahwa Achilles seperti prajurit perkasa yang minim kekurangan. Miller juga mengangkat sisi kehidupan Patroclus melalui sudut pandang dia sebagai yang bercerita di novel ini. Pada umumnya, Patroclus lebih sering menjadi karakter pendukung dalam cerita-cerita yang berkaitan dengan Achilles, bahkan ia jarang sekali disinggung dalam bahasan-bahasan mengenai Achilles. Tapi dalam novel ini, kita akan tahu bahwa mereka berdua merupakan tokoh sentral yang sama pentingnya.
Patroclus adalah putra Raja Menoitius. Dia merupakan seorang pangeran bertubuh kecil, kurus, dan pendek. Kerajaan tidak bisa membanggakannya sebab kondisi fisiknya tersebut. Bahkan ia kerap dibandingkan dengan Achilles oleh ayahnya sebab suatu ketika, Achilles memenangkan suatu kompetisi olahraga yang diadakan oleh kerajaan Menoitius. Aku ingat betul ucapan ayahnya dalam novel itu, “Beginilah seharusnya seorang putra.”
Patroclus adalah salah satu contoh untuk memberikan gambaran bagaimana sejak dulu seorang laki-laki, bahkan anak laki-laki, dituntut untuk menjadi kuat dan perkasa. Tapi jika dilihat dari latar belakangnya, wajar saja seorang raja menginginkan seorang pangeran yang mampu berperang. Tapi apakah dengan begitu sikap ketidaksukaan dan perlakuan buruk harus dilakukan? Toh, Patroclus tetap berlatih lembing dan aktivitas fisik lainnya. Dan apakah nilai seorang laki-laki hanya bisa ditentukan dari bentuk fisiknya? Tentu seharusnya tidak. Tapi beginilah realita kehidupan di kerajaan pada saat itu. Tapi meski aktivitas fisik tidak menarik perhatiannya, Patroclus tetap mempelajari banyak hal, terutama ketika ke Pelion bersama Achilles untuk berguru kepada Chiron. Pada akhirnya, dia menaruh perhatian lebih banyak pada bidang pengobatan, dan dia berhasil membuktikan kebolehannya di bidang itu dengan ikut serta membantu tabib mengobati para prajurit yang terluka di perang Troya. Patroclus selalu memilih untuk menjadi dirinya sendiri tanpa peduli apakah orang lain akan menyukainya atau tidak.
Patroclus telah menjadi satu paket dengan Achilles sejak remaja. Achilles memilih Patroclus sebagai therapon, pendamping. Pendamping pangeran yang akan menemaninya dan membantunya ke mana saja, termasuk berperang. Therapon bagi seorang pangeran tidak hanya sebagai pengawal atau teman saja, melainkan lebih dari itu, yakni seperti saudara seperjuangan yang bersumpah setia untuk bersama pangeran tersebut. Tetapi Achilles tidak pernah memaksakan kehendak Patroclus. Patroclus selalu bebas dalam titel ‘pendamping pangeran’ yang ia miliki. Relasi mereka berdua dalam novel Miller ini begitu natural. Tidak ada pemaksaan akibat kesenjangan status sosial sebab Patroclus sudah bukan lagi pangeran semenjak diasingkan. Relasi mereka berproses, mereka berdua menikmatinya. Miller menceritakan kedekatan mereka dengan alami, tidak terburu-buru dan syahdu. Meski banyak sekali perbedaan pendapat mengenai apakah Patroclus hanya sahabat bagi Achilles atau pasangannya, atau ya, mereka memang hanya menjalin cinta platonik saja, namun Miller mengambil bentuk hubungan mereka berdua sebagai sepasang kekasih dalam novel ini. Tidak hanya sebagai sepasang kekasih, hubungan mereka lebih serius dibandingkan para pangeran dan raja pada umumnya yang senang sekali bergonta-ganti pasangan seks dan kerap menjadikan ratu sebagai formalitas kerajaan saja.
Achilles dan Ramalan Keperkasaannya
Thetis sebenarnya menjadi rebutan Zeus dan Perseus. Tapi di kalangan para dewa sudah ada ramalan bahwa kelak anak Thetis akan lebih hebat dari ayahnya. Hal ini menyebabkan perebutan sengit itu selesai dan Thetis dianugerahkan kepada Peleus sebagai hadiah dari kebijaksanaan dan kebaikan hati Peleus sebagai raja. Perkawinan paksa itu akhirnya menghasilkan putra setengah dewa, Achilles, yang konon akan menjadi orang yang paling hebat pada generasinya.
Dalam novel ini Patroclus menjabarkan betapa ringan dan gemulainya Achilles bermain lembing. Gerakannya lentur dan sempurna. Kekuatan dan keterampilan Achilles ini terbukti dengan banyaknya pasukan Troy yang terbunuh di tangan Achilles. Sangat mudah bagi Achilles untuk menebas tubuh orang-orang Troy. Dan ketika Achilles mogok ikut perang akibat perseteruannya dengan Agamemnon, terbukti pasukan Yunani mulai bergelimpangan tewas dan pasukan Troy mulai menghancurkan perkemahan dan kapal-kapal orang Yunani.
Seumur hidupnya, Achilles tidak pernah mengerti penolakan dan penghinaan. Ia dibesarkan dengan perlindungan Dewi Thetis dan ramalan para dewa akan kebesarannya. Ia tidak pernah mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan sampai setidaknya usia enam belas tahun ketika ia pergi ke Troy untuk berperang. Hal ini yang menurutku menjadi kelebihan yang sekaligus jadi kekurangan Achilles. Sesuatu yang membuktikan bahwa dia benar-benar manusia biasa.
Karena kehidupannya mulus sekali sejak kecil, bahkan bisa dibilang nyaris sempurna, Achilles tumbuh dengan karakter yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ia sepenuhnya yakin terhadap apapun pendapatnya, pilihannya, dan tidak banyak menghiraukan ucapan orang lain, sebab lagi pula siapa yang mau mencela Achilles? Secara individual dia nyaris sempurna. Hal ini menjadikannya pribadi yang berprinsip dan tidak mudah tergoyahkan, namun tidak angkuh. Dia akan melakukan apapun yang ia inginkan, selagi itu tidak merugikan orang lain. Ia tidak mudah terkecoh dan akan selalu yakin dengan pilihannya sendiri.
Namun kelebihan ini menurutku justru membuatnya jadi asing dengan penderitaan. Aku merasa dia begitu polos dalam balutan tubuh yang perkasa. Yang ada di pikirannya adalah tentang bagaimana menjadi pahlawan. Atau mungkin karena memang novel ini tidak secara spesifik menceritakan kehidupan Achilles secara pribadi, bagaimana pola pikirnya yang sesungguhnya, dan rintangan yang ia alami. Sebab novel ini lebih menceritakan sudut pandang dan sisi kehidupan Patroclus. Gambaran mengenai bagaimana sosok seorang Achilles yang bisa didapatkan dari novel ini tak lain adalah apa yang dilihat dan dipikirkan oleh Patroclus.
“Sebutkan satu pahlawan yang bahagia!”
“Aku tahu mereka tidak akan pernah membiarkanmu termasyhur dan bahagia. Kuberi satu rahasia. Aku akan menjadi yang pertama.”
Ungkapan tersebut merupakan ucapan Achilles pada Patroclus saat mereka masih belajar di Pelion. Terlihat bahwa ia benar-benar memiliki ambisi di sana. Mungkin perwujudan dari ramalan para dewa. Sebenarnya Achilles tidak pernah memberikan jawaban yang pasti jika ditanya apakah kelak ia akan menghunuskan lembingnya untuk berperang. Bahkan ketika ia pulang dari Pelion atas perintah ayahnya, ia tak menjawab perintah ayahnya untuk memimpin pasukan perang ke Troy atas nama kerajaannya. Hingga Thetis membawanya pergi agar ia tak ikut berperang. Namun ketika ia dihadapkan kenyataan lain dari ramalannya yang selama ini belum diketahuinya, ia luluh, ia pun pergi berperang. Ramalan itu adalah, ia akan mati muda di Troy dan akan dikenang sebagai pahlawan. Namun, jika ia tak ikut berperang ke Troy, semua kekuatannya akan hilang dan ia tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk menjadi terkenal dan dikenang sebagai pahlawan.
Menjadi seorang laki-laki menuntut seseorang untuk terus membusungkan dada memperlihatkan keperkasaan dan sisi maskulinnya, apalagi jika merangkap sebagai pangeran. Tapi itu tidak berlaku bagi Achilles dalam novel ini. Dibandingkan pangeran pada umumnya yang akan terus membesar-besarkan maskulinitasnya, Achilles menurutku hidup lebih bebas dengan cara memilih sesuatu yang ia inginkan bukan yang umumnya dilakukan. Disamping keterampilan berperangnya yang tentu sudah tak terbantahkan lagi dan diakui sebagai salah satu orang Yunani terhebat, Achilles adalah seorang penyanyi yang memiliki suara indah dan tangan yang lentik dan terampil dalam memetik lira. Achilles juga pandai menari. Sesuatu yang jarang dilakukan atau bahkan tak lazim di kalangan para lelaki, khususnya lelaki kerajaan. Bahkan dalam novel ini Miller menceritakan bahwa Achilles berlatih dan bermain lira lebih sering daripada kegiatan apapun. Miller menuturkan bahwa untuk berlatih berperang saja jarang sekali sebab Thetis melarangnya karena khawatir akan terjadi hal buruk jika ada orang lain yang melihatnya berlatih perang, sebab ramalan itu. Menurutku Miller sukses memberikan representasi ulang mengenai karakter Achilles. Selama ini, Achilles dikenal karena ketampanan, kegagahan, dan kehebatannya, namun pada novel ini Miller menunjukkan kepada pembaca bahwa setiap manusia memang memiliki sisi feminin dan maskulin, tak selamanya menjadi laki-laki harus selalu kuat dan perkasa, dan laki-laki diperkenankan untuk mengekspresikan sisi femininnya kapan saja ia mau. Miller benar-benar membawa sejarah dan kisah klasik dalam nuansa dan tantangan masa modern dalam novel ini. Ia mengangkat isu toxic masculinity dan homosexuality dalam novel ini dan menyampaikan kegelisahannya mengenai hal terebut melalui pengembangan karakter Achilles dan Patroclus.
Patroclus dan Kebesaran Hatinya
Meskipun lahir sebagai seorang pangeran, kehidupan Patroclus cenderung dipenuhi oleh rintangan. Dia hidup dalam survival mode sejak lahir bahkan sampai dewasa. Tapi menurutku, itulah yang akhirnya menjadikan Patroclus sosok yang tabah dan kuat secara psikis. Sejak kecil ia harus menerima perlakuan ayahnya yang tidak pernah bangga bahkan tidak suka dengan kehadirannya, ya tentu karena kondisi tubuhnya. Dan ibunya, dalam novel ini digambarkan bahwa ibunya seperti memiliki keterbatasan mental (or she just really don’t give a f*ck about everything but herself?! aku kurang paham karena mungkin sumber sejarahnya pun tidak memberikan informasi lebih mengenai sosok ibu Patroclus), yang jelas ia lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian dan bahkan Patroclus tak pernah begitu dekat dengannya. Kemudian Patroclus diasingkan ke Pthia, -wilayah kerajaan Achilles- di usia yang masih sangat muda, sebab ia tidak sengaja membunuh salah satu putra kerajaan lain.
Tumbuh dengan keyakinan terhadap diri sendiri bahwa dirinya sangatlah buruk, jelek, tidak dapat dibanggakan, tidak memiliki kelebihan, bukanlah hal yang mudah. Tapi pada akhirnya ia terbiasa. Sehingga ia selalu menjadi pribadi yang tidak pernah peduli dengan apa yang dikatakan orang lain mengenai dirinya, dan pilihan hidupnya. Ia melakukan kehidupannya secara bebas. Bebas yang tidak bisa dinilai dari kaca mata kehidupan biasa.
Meskipun tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya begitu kurang sebab apa pun yang telah ayahnya katakan tentang dirinya, itu tidak menjadikannya terpuruk dan pasrah begitu saja pada takdir. Ia selalu fokus melakukan apa yang ia suka dan ingin ia lakukan, serta hal-hal yang ia kuasai, alih-alih memaksakan diri untuk menguasai hal-hal yang tidak ingin ia kuasai hanya karena hal itu adalah hal umum yang dilakukan banyak orang atau hal yang diinginkan seseorang untuk dilakukan oleh seorang anak laki-laki ataupun pangeran.
Terlahir sebagai pangeran, lalu tumbuh menjadi anak buangan, membuat empati dan kemanusiaan Patroclus tumbuh lebih besar daripada sifat keangkuhan seorang bangsawan. Aku kagum sekali ketika Patroclus yang memberi ide dan membujuk Achilles untuk mengambil perempuan-perempuan rampasan perang, bukan untuk dijadikan budak seks, tetapi ia ingin agar mereka bisa hidup dengan layak dan aman di bawah naungan Achilles yang tentu memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding Patroclus. Kemudian, ketika ia membantu tabib mengobati para prajurit dengan begitu telaten dan lembut. Sampai ia dikenal sebagai pengobat yang paling bisa meminimalisir rasa sakit ketika proses pengobatan berlangsung. Dan ketika orang Yunani mulai berjatuhan kewalahan menghadapi pasukan Troy semenjak Achilles mogok berperang, Patroclus selalu membujuk Achilles untuk ikut berperang lagi, ia tak kuasa melihat orang-orang Yunani tewas bergelimpangan. Meskipun akhirnya Achilles tidak pernah mau kembali berperang. Sampai kemudian ia memutuskan untuk turun ke lapangan dan berperang dengan baju zirah Achilles, bermaksud untuk menggempar pasukan Troy meskipun ia tahu bahwa ia sama sekali tidak terampil berperang.
Briseis dan Patroclus
Briseis adalah wanita tawanan perang yang diperoleh bangsa Yunani saat menggempur wilayah penduduk yang ada di bawah naungan kerajaan Troy. Ia yang pertama kali diambil oleh Achilles sebagai harta rampasan perangnya, tentu berkat ide Patroclus. Ia kemudian menjadi sahabat Patroclus. Mungkin lebih dari sekadar sahabat. Yang aku tahu mereka saling menyayangi dan melindungi. Briseis telah mengungkapkan perasaannya terlebih dulu. Patroclus sepertinya ingin memiliki anak dengan Briseis. Tapi pilihan hidup dan cintanya selalu pada Achilles. Ini mengingatkan aku pada salah satu kutipan dari Sujiwo Tejo, beliau bilang, “Kamu bisa memilih untuk menikah dengan siapa saja, tapi tidak bisa kamu pilih cintamu untuk siapa.” Briseis dan Patroclus tidak menikah, juga tidak menjalin relasi seksual apapun. Tapi Patroclus tahu betul Briseis adalah sosok perempuan yang baik untuk jadi pendamping hidup yang bisa diajak menua dan tumbuh bersama, ia juga sosok perempuan yang akan didambakan oleh anak manusia untuk dijadikan ibu.
Buku ini mungkin seharusnya membuatku menangis seperti yang mungkin banyak orang lakukan usai membacanya. Tapi setiap buku akan memberi pengalaman yang berbeda bagi setiap pembaca. Alih-alih membuatku tenggelam dalam ke-baper-an akan kisah romantis Achilles dan Patroclus, Miller justru membuatku benar-benar belajar tentang banyak hal mengenai kehidupan melalui karakter-karakter yang ia suguhkan dengan penuturan yang sangat menarik. Penuturannya indah, jelas, dan syahdu. Rasanya seperti sedang didongengkan walaupun aku sendiri yang membacanya. Ini juga yang membuatku lebih cepat meresap inti sari dari setiap karakter dan bagian-bagian cerita yang dikisahkan dalam novel ini.
Menurutku novel ini cocok sekali untuk dijadikan bacaan rehat yang penuh manfaat di sela-sela aktifitas penat atau bacaan lain yang berat. Aku sulit sekali untuk menilai sebuah karya tulis karena menurutku semuanya memiliki nilai tersendiri dan poin pentingnya tersendiri. Jadi aku tidak akan memberi rating. Tapi kalau senang dengan kisah klasik, kisah romantis nan elegan, indah dan syahdu, novel ini boleh menjadi sasaran empuk untuk membunuh waktu.
Tapi, seperti kebanyakan kisah kehidupan kerajaan yang pernah aku baca atau tonton, novel ini memberikan bekas yang sangat signifikan bagiku; seperti guratan luka di kulit akibat tertusuk kepingan kaca begitu dalam, dan brutal. Kehidupan dalam kerajaan masih mejadi sudut pandang kehidupan yang menurutku cukup berat dan penuh tekanan. Sehingga biasanya ketika usai membaca atau menonton kisah kerajaan, aku akan diliputi perasaan kalut karena kisahnya begitu emosional, benar-benar mencampuradukkan segala jenis perasaan yang ada di dunia, dan masalah yang tak pernah aku duga benar-benar ada dalam kehidupan. Mungkin itu sebabnya aku tidak menangis. Meskipun secara bahasa dan cerita, novel ini terasa ringan mengalir di kepala, tapi efek samping setelahnya cukup berat setidaknya buatku.
Ahh iya, alasan lain mengapa aku merasa demikian usai membaca novel ini adalah, sebab betapa karakter perempuan dalam sejarah mitologi Yunani ini sangat negatif, dan dalam buku ini banyak tokoh perempuan pula yang posisinya sangat rendah, direndahkan, dan cenderung dirugikan. Mungkin aku akan membahas tentang perempuan-perempuan dalam sejarah bangsa Yunani di lain kesempatan.